Macam-Macam Shalat
1. Shalat Fardu (Shalat Lima Waktu)
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah lima kali dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah pada malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah bilangan shalat yang difardukan. Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi’i, berpendapat Bahwa jumlah shalat yang wajib hanya lima, sebagai mana yang disebutkan dalam hadist tentang mi’raj, yaitu : subuh, duhur, ashar, maghrib, dan isya. Disamping hadist mi’raj, terdapat hadist lain yang meriwayatkan seorang arabiy datang kepada Nabi dan bertanya tentang islam. Beliau bersabda : “ lima shalat sehar semalam ”. ketika orang itu bertanya lagi : “apakah ada yang wajib bagiku selain itu ?” Nabi menjawab : ” tidak ada, kecuali engkau ber-tathawu.”
Namun, abu Hanifah dan para pengikutnya menganggap shalat witir termasuk shalat wajib, sehingga bilangan shalat fardu ada enam. Ia melandasi pendapatnya dari hadist Nabi, diantaranya berasal dari syu’aib, yang menyatakan bahwa nabi bersabda :
“Allah telah menambahkan sebuah shalat bagi kamu yaitu witir. Oleh kareana itu , hendaklah kamu memeliharanya.”
Disamping itu, ada hadist dari Buraidah Al-Islamiy yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“shalat witir itu hak (benar) maka barang siapa tidak melakukannya, dia bukan dari (umat) kami.”
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah lima kali dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah pada malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah bilangan shalat yang difardukan. Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi’i, berpendapat Bahwa jumlah shalat yang wajib hanya lima, sebagai mana yang disebutkan dalam hadist tentang mi’raj, yaitu : subuh, duhur, ashar, maghrib, dan isya. Disamping hadist mi’raj, terdapat hadist lain yang meriwayatkan seorang arabiy datang kepada Nabi dan bertanya tentang islam. Beliau bersabda : “ lima shalat sehar semalam ”. ketika orang itu bertanya lagi : “apakah ada yang wajib bagiku selain itu ?” Nabi menjawab : ” tidak ada, kecuali engkau ber-tathawu.”
Namun, abu Hanifah dan para pengikutnya menganggap shalat witir termasuk shalat wajib, sehingga bilangan shalat fardu ada enam. Ia melandasi pendapatnya dari hadist Nabi, diantaranya berasal dari syu’aib, yang menyatakan bahwa nabi bersabda :
“Allah telah menambahkan sebuah shalat bagi kamu yaitu witir. Oleh kareana itu , hendaklah kamu memeliharanya.”
Disamping itu, ada hadist dari Buraidah Al-Islamiy yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“shalat witir itu hak (benar) maka barang siapa tidak melakukannya, dia bukan dari (umat) kami.”
a. Waktu-waktu Shalat
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 103: “sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang di tentukan waktunya bagi orang-orang beriman.”
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 103: “sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang di tentukan waktunya bagi orang-orang beriman.”
Ketetapan hukum islam yang diperoleh dari nash al qur’an dan sunnah yag qath’i dan sharih adalah bersifat universal dan fix, dan nerlaku berlaku untuk seluruh umat mansia sepanjang masa. Namm, sesuai dengan asas-asas hukum islam yang fleksibel. Praktis, dan tidak menyulitkan dalam batas jangkauan kemampan manusia sejalan dengan kemaslahatan umm dan kemajuan zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu shalat berdasarkan al qur’an surat al-isra ayaat 78 dan al-baqorah ayat 187 tidak berlaku untuk seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zone bumi yang noramal, yang perbedaan waktu siang dan malamnya relatif kecil, yakni di daerah-daerah khatulistiwa (ekuator) dan tropis (daerah khatulistiwa sampai garis paralel 45o dari garis lintang utara dan selatan). Lebih dari tiga perlima bumi yang dihuni manusia termasuk di daerah yang normal, ialah selruh Afrika, Timur tengah, India, Pakistan, Cina, Asean, Australia, dan seluruh Amerika (Kecuali Canada dan sedikit daerah selatan dari Argentina- Chili), dan Oceania. Maka waktu Shalat bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah normal tersebut adalah waktu setempat ( local time) berdasarkan waktu terbit dan tenggelam matahari di daerah-daerah yang bersangkutan yang perbedaan waktunya sekitar satu menit setiap jarak 15 mil.
Adapun waktu shalat bagi masyarakat islam yang tinggal diluar daerah khatulistiwa dan tropis yakni di daerah-daerah diluar garis paralel 45o dari garis litang utara dan selatan yang abnormal itu, karena perbedaan siang dan malamnya terlalu besar terutama di daerah sekitar kutub yang 6 bulan dalam keadaan siang terus menerus dan 6 bulan berikutnya dalam keadaan malam, adalah mengikuti waktu shalat di daerah normal yang terdekat yakni pada garis paralel 45o dari garis lintang utara dan selatan.
Karena itu bagi masyarakat islam yang tinggal misalnya di negeri Belanda, Inggris, dan negara-negara Skandivania mengikuti waktu shalatnya dengan waktu bordeaux (Prancis bagian selatan), yang terletak di garis paralel 45o dari garis lintang utara. Demikian pula bagi masyarakat Islam yang tinggal di Amerika Utara mengikuti waktu shalat dengan waktu Halifax atau Portland (Canada).
Adapun dalil syar’i yang memberikan dispensasi (hukum rukhsah, istilah Fiqh) bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti waktu shalat dari daerah normal yang terdekat, antara lain menurut surat Al-baqarah ayat 286:
لا يكلف الله نفسا ألا وسعها
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Masail Fiqhiyyah. 1993: 274-275)
Karena itu bagi masyarakat islam yang tinggal misalnya di negeri Belanda, Inggris, dan negara-negara Skandivania mengikuti waktu shalatnya dengan waktu bordeaux (Prancis bagian selatan), yang terletak di garis paralel 45o dari garis lintang utara. Demikian pula bagi masyarakat Islam yang tinggal di Amerika Utara mengikuti waktu shalat dengan waktu Halifax atau Portland (Canada).
Adapun dalil syar’i yang memberikan dispensasi (hukum rukhsah, istilah Fiqh) bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti waktu shalat dari daerah normal yang terdekat, antara lain menurut surat Al-baqarah ayat 286:
لا يكلف الله نفسا ألا وسعها
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Masail Fiqhiyyah. 1993: 274-275)
Adapun waktu bagi masing-masing shalat yang 5 waktu tersebut (Fiqih Islam. 2001: 61-62) adalah sebagai beikut:
Shalat Dzuhur. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengaahan langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari menonggak (tepat diatas ubun-ubun).
Shalat Ashar. Waktunya dimulai dari habisnya waktu dzuhur; bayang-bayang sesuatu lebih dari pada panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari sedang menonggak, sampai terbenam matahari.
Shalat Maghrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam syafaq (mega) merah.
Shalat Isya. Waktinya mulai dari terbenamnya syafaq merah (sehabis waktu maghrib) sampai terbit fajar kedua
Shalat Shubuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.
b. Syarat wajib shalat 5 waktu
Islam
Suci dari haid (Kotoran dan nifas)
Berakal
Baligh
Telah sampai dakwah (perintah rasul kepadanya)
Melihat atau Mendengar
erjaga (tidak tidur dan tidak lupa)
c.Syarat Sah Shalat
Suci dari hadats besar dan hadats kecil
Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis
Menutup aurat
Mengetahui masuknya waktu shalat
Menghadap ke kiblat (ka’bah)
d. Rukun Shalat
Niat
Berdiri bagi yang mamapu
Takbiratul ihram
Membaca surat Fatihah
Ruku serta tuma’ninah
I’tidal serta tuma’ninah
Sujud dua kali dengan tuma’ninah
Duduk diantara dua sujud dengan tuma’ninah
Duduk akhir
Membaca Tasyahd akhir
Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad
Memberi salam yang pertama (kanan)
Menertibkan rukun
e. Hal-hal yang membatalkan Shalat
1) Meninggalkan salah satu rukun
2) Meninggalkan salah satu syarat
3) Sengaja berbicara
4) Banyak bergerak
5) Makan dan minum
f. Niat dalam shalat
Shalat (Fiqih Niat. 2006: 260) merupakan ibadah yang tidak bisa di nalar dan para Ulama telah menyepakati atas kewajiban ibadah ini.
Tidak sedikit Ulama yang mengatakan secara ijma’ tentang kewajiban niat dalam shalat. Mereka tidak membedakan antara shalat fardhu dengan shalat lainnya., bahkan niat di wajibkan dalam sujud tilawah dan sujud syukur karena kedua sujud tersebut merupakan suatu ibadah.
Ada yang berpendapat bahwa shalat berbeda bentuknya dengan amalan biasa dan ibadah lain, lalu kenapa juga harus memakai niat?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah niat dalam shalat bukanlah untuk membedakan shalat dengan kebiasaan atau ibadah yang lain, namun untuk membedakan jenis shalat antara shalat fardhu dan shalat tidak fardhu.
Imam syafi’i mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat, ada shalat fardhu dan ada shalat tidak fardhu, Allah berfirman,
“ dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”(al-Israa’: 79)
Niat berfungsi untuk membedakan jenis shalat dan tingkatan shalat tersebut, sehingga shalat dngan memakai niatlah yang di terima olah Allah.
2. Shalat Sunnah
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah yang diatur tersendiri, baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang, bahwa hikmah adanya ajaran shalat sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar menjadi penambah shalat fardhu yang mungkin kurang tanpa di sengaja seperti kurang adabnya dan shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar lebih konsentrasi dalam memasuki shalat fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya dan siap menghadapinya.
Sengaja di syariatkan shalat sunnat juga ialah untuk menambal kekurangan yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, juga karena shalat itu mengandung keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain.
Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, yang artinya:
“sesungguhnya yang pertama-tama akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat atu ialah shalat. Tuhan berfirman kepada Malaikat, sedangkan Ia adalah Maha Lebih Mengetahui: “periksalah shalat hamba-Ku, cukupkah atau rangkah?” maka jiakalau terdapat cukup, dicatatlah cukup. Tetapi jikalau terdapat kekerangan, tuhan berfirman pula; “periksalah lagi, apakah hambah-Ku itu mempunyai amalan shalat sunnah ? Jikalau terdapat ada shalat sunahnya, lalu tuhan berfirman lagi: ‘ cukupkanlah kekurangan shalat fard hambahku itu dengan shalat sunnahnya” selanjutnya diperhitungkanlah amal pebuatan itu menurut cara demikian”.
Macam-macam Shalat Sunnah:
A Shalat ‘Idain
Shalat ‘idain (Shalat dua hari Raya) termasuk sunah muakadah yang disyari’atkan berdasarkan al qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Dalil al-Qur’an dapat dijumpai dalam Q.S Al Kautsar ayat 2 yang artinya:” maka dirikanlah shalat, karena tuhanmu; dan berkorbanlah.”
shalat dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai perintah shalat idul adha namun, perintah itu tidak menunjukan wajib, sebab ada hadist riwayat bukhori dan muslim bahwa seseorang (‘arabiy) setelah mendapatkan penjelasan tentang kewajiban shalat fardu, bertanya kepada Nabi : “apakah masih ada shalat yang wajib atasku selain itu ?” beliau menjawab : “tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan tatthawu.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48)
Hadits Nabi Saw.:
عن عا ئشة رضي ا لله عنها قا لت :قا ل رسو ل الله صلى الله عليه و سلم أ لفطر يوم يفطر ا لنا س و الاضحى يوم يضحى ا لناس ( روه ا لتر مذي )
Artinya: Dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda : Fithri itu ialah hari orang-orang berbuka puasa dan Adha itu ialah hari orang-orang berqurban. (H.R.At Turmudziy)
Dalam Hadits tersebut terkandung dalil bahwa yang perlu di perhatikan dalam penetapan hari raya itu ialah kesepakatan orang banyak dan orang yang hanya sendirian mengetahui Hari raya dengan melihat Bulan, harus atasnya di cocokkan dengan oranglain dan dia harus mengikuti keputusan orang banyak dalam penentuan shalat Hari raya, berbuka dan berkurban. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 259)
Pelaksanaan shalat ‘Idain (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48) ini, menrut kesepakan ulama, dituntut secara berjama’ah. Abu Hanifah dan ulama lainnya mengatakan tuntutan melakukan shalat ‘id hanya ditunjukan kepada orang yang bertempat tinggal di kota. Namun, menurut Syafi’i, tuntutan itu berlaku secara luas, meliputi orang musafir, perempuan dan budak bahkan orang yang sedirian. Waktu shalat ‘id itu sejak matahari sampai kepada waktu zawal, dan sebaiknya dilaksanakan setelah matahari naik setinggi tombak.
B. Shalat Istisqa
Shalat istisqa (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49) dilakukan dalam rangka memohon turunnya hujan. Ulama sepakat, bila kebutuhan akan air menjadi sulit karena lama tidak turun hujan, disunahkan melakukan istisqa, pergi keluar kota, berdo’a, memohon agar Allah menurunkan hujan. Mayoritas mereka memasukan shalat sebagai istisqa dari upacara istisqa itu, namun Abu Hanifah tidak memandang demikian.
Hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkad, yaitu apabila shalat itu dilaksanakan ketika membutuhkan air, dengan tata cara- tata caranya. ( Fiqih empat Madzhab. 1994: 318)
Dalam kitab “al hudan nabawiy” telah dihitung macam-macam cara nabi saw, melakukan minta hujan itu.
Pertama : keluarnya Nabi saw. menuju tempat shalatnya dan khutbahnya sambil memohon.
Kedua : beliau meminta hujan itu pada hari jum’at di atas mimbar sewaktu tengah khutbahnya.
Ketiga : beliau berdo’a minta hujan di atas mimbar di madinah, dengan do’a minta hujan saja bukan pada hari jum’at tanpa melakukan shalat meminta hujan.
Keempat : bahwa beliau meminta hujan sewaktu beliau duduk dalam mesjid, beliau mengangkat tangannya sambil berdo’a kepada Allah SWT.
Kelima : bahwa nabi saw. Pernah berdo’a minta hujan itu dengan duduk pada batu licin dekat zaura (nama tempat yang menjadi pasar pada masa utsman) yaitu suatu tempat di luar pintu mesjid
Keenam : beliau pernah berdo’a minta hujan pada suatu peperangan, karena sumber mata air sudah dahulu dikuasai oleh kafir musyrik (musuhnya). Lalu mulai saat itu juga pada daerah yang dikuasai Nabi saw. diturunkan hujan. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 316)
C. Shalat Tahiyat masjid
Orang yang masuk masjid disunatkan melakukan salat dua raka’at, sebelum duduk, sebagai penghormatan (tahiyat) masjid, sesuai hadits Nabi:” jika seseorang diantara kamu datang ke masjid, maka hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at.’’ Tatapi, jika ia masuk ketika shalat jama’ah akan dimulai, ia tidak di tuntut lagi melakukannya. Lagipula, penghormatan terhadap masjid itu telah tercapai dengan melekukan shalat wajib tersebut.
Jika seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at ketika Imam sedang menyampaikan khotbah, hendaklah ia melakukan shalat tahiyatul masjid dengan ringkas. Dalam suatu riwayat dikatakan:” apabila seseorang diantara kamu datang ketika Imam sedang berkhotbah, maka hendaklah ia shalat dua raka’at, dan hendaklah ia melakukannya dengan ringkas.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 50)
Sabda Rasulullah Saw:
عن أ بى قتادة قال رسول الله صلى ا لله عليه و سلم أذا دخل أحدكم ا لمسجد فلا يجلس حتى يصلى ركعين . رواه البخارى و مسلم
Dari Abu Qatadah, “Rasulullah Saw. Berkata, ‘Apabila salah seorang diantara kamu masuk ke mesjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat dahulu’.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqih Islam. 2001: 146)
D. Shalat Dhuha
Shalat Dhuha ialah shalat sunnat dua rakaat atau lebih. Sebanyak-banyaknya dua belas rakaat. Shalat ini dikerjakan ketika waktu dhuha, yaitu waktu matahari naik setinggi tombak yaitu kira-kira pukul 8 atau pukul 9 sampai tergelincir matahari.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw.) telah berpesan kepadaku tiga macam pesan: (1) Puasa tiga hari setiap bulan, (2) Shalat Dhuha dua rakaat, dan (3) Shalat Witir sebelum tidur.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqh Islam. 2001: 147)
Shalat Dhuha hukumnya Sunnat menurut pendapat tiga Imam Madzhab. Malikiyyah menyangkal pendapat itu. Mereka berpendapat bahwa shalat Dhuha itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnat. Adapun waktunya adalah sejak matahari menyingsing sebatas ketinggian satu tombak hingga tergelincir (zawal). Yang lebih utama hendaknya ia memulai shalat itu setelah seperempat siang. Batas minimal shalat dhuha adalah dua rakaat. Sedangkan maksimalnya 8 rakaat. Apabila Ia menambah jummlah rakaatnya lebih dari batas itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalat dhuha, maka selebihnya dari 8 rakaat itu tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia lakukan karena lupa dan tidak tahu, maka menurut Syafi’iyah dan Hanabillah ia sah sebagai shalat nafilah mutlak.(Fiqih empat Madzhab. 1994: 269)
E. Shalat Tahajud
Shalat sunnah tahajud utama dilakukan pada waktu malam setelah tidur terlebih dahulu. Keutamaan ini terkait dengan beratnya melakukan shalat setelah tidur dan juga terkait dengan pelaksanaannya pada saat manusia sedang tidur dan lalai mengingat Allah. Waktu yang terbaik baginya pada akhir malam sesuai dengan ayat 17-18 dari Surat Al-dzariyyat.” Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir malam-malam mereka memohon (kepada Allah).”
Bila malam dibagi tiga, maka sepertiga bagian setelah tengah malam merupakan waktu terbaik. Sebagaimana diriwayatlkan Umar bahwa shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Daud. Ia tidur sepuluh malam, kemudin bangkit berdiri (shalat) sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49)
Sabda Rasulluh Saw.:
عن أ بي هريرة لما سئل ا لنبى صلى ا لله عليه و سلم أ ى ا لصلاة افضل بعد ا لمكتوبة ؟ قا ل ا لصلاة فى جوف ا لليل. روه مسلم و غيره
Dari Abu Hurairah, tatkala Nabi Saw. Ditanya orang,’ Apakah shalat yang lebih utama selain dari shalat fardhu yang lima?’ Jawab Beliau,” Shalat pada waktu tengah malam.” (Riwayat Muslim dan lainnya) dalam ( Fiqih islam. 2001: 148)
F. Shalat Rawatib
Shalat Sunnah Rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu. Seluruh shalat sunnah rawatib ini ada 22 raka’at, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat shubuh (sebelum shalat shubuh tidak ada sunnah ba’diyah)
b) 2 raka’at sebelum shalat zhuhur, 2 atau 4 ra’kaat sesudah shalat dzuhur)
c) 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat ashar (sesudah shalat ashar tidak ada sunnah ba’diyah)
d) 2 raka’at sesudah shalat maghrib
e) 2 raka’at sebelum shalat isya
f) 2 raka’at sesudah shalat isya
Di antara shalat-shalat tersebut ada yang di namakan “sunnah muakkad” artinya sunnah yang sangat kuat, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat dzuhur, dengan niatnya:
أ صلى سنة ا لظهر ركعتين قبلية لله تعلى . ا لله أ كبر
Artinya:
“ aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua raka’at karena Allah Ta’ala. Allahu akbar.”
b) 2 raka’at sesudah dzuhur
c) 2 raka’at sebelum ashar
d) 2 raka’at sesudah maghrib
e) 2 raka’at sebelum isya
f) 2 raka’at sesudah isya
Shalat-shalat tersebut, yang dikerjakan sebelum shalat fardhu dinamakan “Qabliyyah”, dan yang dikerjakan sesudah shalat fardhu dinamakan “Ba’diyyah”.
Ketentuan-ketetuan shalat Rawatib:
a) Niatnya menurut macam shalatnya
b) Tidak dengan adzan dan iqamah
c) Dikerjakan tidak dengan berjama’ah
d) Bacaannya tidak dinyaringkan
e) Jika lebih dari dua raka’at, tiap-tiap dua raka’at satu salam
f) Diutamakan sebaiknya tempat mengerjakan pindah bergeser sedikit dari tempat shalat fardhu yang baru dikerjakan. (Risalah Tuntunan shalat lengkap. 2011: 80-83)
Shalat (Fiqih Niat. 2006: 260) merupakan ibadah yang tidak bisa di nalar dan para Ulama telah menyepakati atas kewajiban ibadah ini.
Tidak sedikit Ulama yang mengatakan secara ijma’ tentang kewajiban niat dalam shalat. Mereka tidak membedakan antara shalat fardhu dengan shalat lainnya., bahkan niat di wajibkan dalam sujud tilawah dan sujud syukur karena kedua sujud tersebut merupakan suatu ibadah.
Ada yang berpendapat bahwa shalat berbeda bentuknya dengan amalan biasa dan ibadah lain, lalu kenapa juga harus memakai niat?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah niat dalam shalat bukanlah untuk membedakan shalat dengan kebiasaan atau ibadah yang lain, namun untuk membedakan jenis shalat antara shalat fardhu dan shalat tidak fardhu.
Imam syafi’i mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat, ada shalat fardhu dan ada shalat tidak fardhu, Allah berfirman,
“ dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”(al-Israa’: 79)
Niat berfungsi untuk membedakan jenis shalat dan tingkatan shalat tersebut, sehingga shalat dngan memakai niatlah yang di terima olah Allah.
2. Shalat Sunnah
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah yang diatur tersendiri, baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang, bahwa hikmah adanya ajaran shalat sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar menjadi penambah shalat fardhu yang mungkin kurang tanpa di sengaja seperti kurang adabnya dan shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar lebih konsentrasi dalam memasuki shalat fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya dan siap menghadapinya.
Sengaja di syariatkan shalat sunnat juga ialah untuk menambal kekurangan yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, juga karena shalat itu mengandung keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain.
Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, yang artinya:
“sesungguhnya yang pertama-tama akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat atu ialah shalat. Tuhan berfirman kepada Malaikat, sedangkan Ia adalah Maha Lebih Mengetahui: “periksalah shalat hamba-Ku, cukupkah atau rangkah?” maka jiakalau terdapat cukup, dicatatlah cukup. Tetapi jikalau terdapat kekerangan, tuhan berfirman pula; “periksalah lagi, apakah hambah-Ku itu mempunyai amalan shalat sunnah ? Jikalau terdapat ada shalat sunahnya, lalu tuhan berfirman lagi: ‘ cukupkanlah kekurangan shalat fard hambahku itu dengan shalat sunnahnya” selanjutnya diperhitungkanlah amal pebuatan itu menurut cara demikian”.
Macam-macam Shalat Sunnah:
A Shalat ‘Idain
Shalat ‘idain (Shalat dua hari Raya) termasuk sunah muakadah yang disyari’atkan berdasarkan al qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Dalil al-Qur’an dapat dijumpai dalam Q.S Al Kautsar ayat 2 yang artinya:” maka dirikanlah shalat, karena tuhanmu; dan berkorbanlah.”
shalat dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai perintah shalat idul adha namun, perintah itu tidak menunjukan wajib, sebab ada hadist riwayat bukhori dan muslim bahwa seseorang (‘arabiy) setelah mendapatkan penjelasan tentang kewajiban shalat fardu, bertanya kepada Nabi : “apakah masih ada shalat yang wajib atasku selain itu ?” beliau menjawab : “tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan tatthawu.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48)
Hadits Nabi Saw.:
عن عا ئشة رضي ا لله عنها قا لت :قا ل رسو ل الله صلى الله عليه و سلم أ لفطر يوم يفطر ا لنا س و الاضحى يوم يضحى ا لناس ( روه ا لتر مذي )
Artinya: Dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda : Fithri itu ialah hari orang-orang berbuka puasa dan Adha itu ialah hari orang-orang berqurban. (H.R.At Turmudziy)
Dalam Hadits tersebut terkandung dalil bahwa yang perlu di perhatikan dalam penetapan hari raya itu ialah kesepakatan orang banyak dan orang yang hanya sendirian mengetahui Hari raya dengan melihat Bulan, harus atasnya di cocokkan dengan oranglain dan dia harus mengikuti keputusan orang banyak dalam penentuan shalat Hari raya, berbuka dan berkurban. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 259)
Pelaksanaan shalat ‘Idain (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48) ini, menrut kesepakan ulama, dituntut secara berjama’ah. Abu Hanifah dan ulama lainnya mengatakan tuntutan melakukan shalat ‘id hanya ditunjukan kepada orang yang bertempat tinggal di kota. Namun, menurut Syafi’i, tuntutan itu berlaku secara luas, meliputi orang musafir, perempuan dan budak bahkan orang yang sedirian. Waktu shalat ‘id itu sejak matahari sampai kepada waktu zawal, dan sebaiknya dilaksanakan setelah matahari naik setinggi tombak.
B. Shalat Istisqa
Shalat istisqa (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49) dilakukan dalam rangka memohon turunnya hujan. Ulama sepakat, bila kebutuhan akan air menjadi sulit karena lama tidak turun hujan, disunahkan melakukan istisqa, pergi keluar kota, berdo’a, memohon agar Allah menurunkan hujan. Mayoritas mereka memasukan shalat sebagai istisqa dari upacara istisqa itu, namun Abu Hanifah tidak memandang demikian.
Hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkad, yaitu apabila shalat itu dilaksanakan ketika membutuhkan air, dengan tata cara- tata caranya. ( Fiqih empat Madzhab. 1994: 318)
Dalam kitab “al hudan nabawiy” telah dihitung macam-macam cara nabi saw, melakukan minta hujan itu.
Pertama : keluarnya Nabi saw. menuju tempat shalatnya dan khutbahnya sambil memohon.
Kedua : beliau meminta hujan itu pada hari jum’at di atas mimbar sewaktu tengah khutbahnya.
Ketiga : beliau berdo’a minta hujan di atas mimbar di madinah, dengan do’a minta hujan saja bukan pada hari jum’at tanpa melakukan shalat meminta hujan.
Keempat : bahwa beliau meminta hujan sewaktu beliau duduk dalam mesjid, beliau mengangkat tangannya sambil berdo’a kepada Allah SWT.
Kelima : bahwa nabi saw. Pernah berdo’a minta hujan itu dengan duduk pada batu licin dekat zaura (nama tempat yang menjadi pasar pada masa utsman) yaitu suatu tempat di luar pintu mesjid
Keenam : beliau pernah berdo’a minta hujan pada suatu peperangan, karena sumber mata air sudah dahulu dikuasai oleh kafir musyrik (musuhnya). Lalu mulai saat itu juga pada daerah yang dikuasai Nabi saw. diturunkan hujan. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 316)
C. Shalat Tahiyat masjid
Orang yang masuk masjid disunatkan melakukan salat dua raka’at, sebelum duduk, sebagai penghormatan (tahiyat) masjid, sesuai hadits Nabi:” jika seseorang diantara kamu datang ke masjid, maka hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at.’’ Tatapi, jika ia masuk ketika shalat jama’ah akan dimulai, ia tidak di tuntut lagi melakukannya. Lagipula, penghormatan terhadap masjid itu telah tercapai dengan melekukan shalat wajib tersebut.
Jika seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at ketika Imam sedang menyampaikan khotbah, hendaklah ia melakukan shalat tahiyatul masjid dengan ringkas. Dalam suatu riwayat dikatakan:” apabila seseorang diantara kamu datang ketika Imam sedang berkhotbah, maka hendaklah ia shalat dua raka’at, dan hendaklah ia melakukannya dengan ringkas.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 50)
Sabda Rasulullah Saw:
عن أ بى قتادة قال رسول الله صلى ا لله عليه و سلم أذا دخل أحدكم ا لمسجد فلا يجلس حتى يصلى ركعين . رواه البخارى و مسلم
Dari Abu Qatadah, “Rasulullah Saw. Berkata, ‘Apabila salah seorang diantara kamu masuk ke mesjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat dahulu’.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqih Islam. 2001: 146)
D. Shalat Dhuha
Shalat Dhuha ialah shalat sunnat dua rakaat atau lebih. Sebanyak-banyaknya dua belas rakaat. Shalat ini dikerjakan ketika waktu dhuha, yaitu waktu matahari naik setinggi tombak yaitu kira-kira pukul 8 atau pukul 9 sampai tergelincir matahari.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw.) telah berpesan kepadaku tiga macam pesan: (1) Puasa tiga hari setiap bulan, (2) Shalat Dhuha dua rakaat, dan (3) Shalat Witir sebelum tidur.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqh Islam. 2001: 147)
Shalat Dhuha hukumnya Sunnat menurut pendapat tiga Imam Madzhab. Malikiyyah menyangkal pendapat itu. Mereka berpendapat bahwa shalat Dhuha itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnat. Adapun waktunya adalah sejak matahari menyingsing sebatas ketinggian satu tombak hingga tergelincir (zawal). Yang lebih utama hendaknya ia memulai shalat itu setelah seperempat siang. Batas minimal shalat dhuha adalah dua rakaat. Sedangkan maksimalnya 8 rakaat. Apabila Ia menambah jummlah rakaatnya lebih dari batas itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalat dhuha, maka selebihnya dari 8 rakaat itu tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia lakukan karena lupa dan tidak tahu, maka menurut Syafi’iyah dan Hanabillah ia sah sebagai shalat nafilah mutlak.(Fiqih empat Madzhab. 1994: 269)
E. Shalat Tahajud
Shalat sunnah tahajud utama dilakukan pada waktu malam setelah tidur terlebih dahulu. Keutamaan ini terkait dengan beratnya melakukan shalat setelah tidur dan juga terkait dengan pelaksanaannya pada saat manusia sedang tidur dan lalai mengingat Allah. Waktu yang terbaik baginya pada akhir malam sesuai dengan ayat 17-18 dari Surat Al-dzariyyat.” Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir malam-malam mereka memohon (kepada Allah).”
Bila malam dibagi tiga, maka sepertiga bagian setelah tengah malam merupakan waktu terbaik. Sebagaimana diriwayatlkan Umar bahwa shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Daud. Ia tidur sepuluh malam, kemudin bangkit berdiri (shalat) sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49)
Sabda Rasulluh Saw.:
عن أ بي هريرة لما سئل ا لنبى صلى ا لله عليه و سلم أ ى ا لصلاة افضل بعد ا لمكتوبة ؟ قا ل ا لصلاة فى جوف ا لليل. روه مسلم و غيره
Dari Abu Hurairah, tatkala Nabi Saw. Ditanya orang,’ Apakah shalat yang lebih utama selain dari shalat fardhu yang lima?’ Jawab Beliau,” Shalat pada waktu tengah malam.” (Riwayat Muslim dan lainnya) dalam ( Fiqih islam. 2001: 148)
F. Shalat Rawatib
Shalat Sunnah Rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu. Seluruh shalat sunnah rawatib ini ada 22 raka’at, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat shubuh (sebelum shalat shubuh tidak ada sunnah ba’diyah)
b) 2 raka’at sebelum shalat zhuhur, 2 atau 4 ra’kaat sesudah shalat dzuhur)
c) 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat ashar (sesudah shalat ashar tidak ada sunnah ba’diyah)
d) 2 raka’at sesudah shalat maghrib
e) 2 raka’at sebelum shalat isya
f) 2 raka’at sesudah shalat isya
Di antara shalat-shalat tersebut ada yang di namakan “sunnah muakkad” artinya sunnah yang sangat kuat, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat dzuhur, dengan niatnya:
أ صلى سنة ا لظهر ركعتين قبلية لله تعلى . ا لله أ كبر
Artinya:
“ aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua raka’at karena Allah Ta’ala. Allahu akbar.”
b) 2 raka’at sesudah dzuhur
c) 2 raka’at sebelum ashar
d) 2 raka’at sesudah maghrib
e) 2 raka’at sebelum isya
f) 2 raka’at sesudah isya
Shalat-shalat tersebut, yang dikerjakan sebelum shalat fardhu dinamakan “Qabliyyah”, dan yang dikerjakan sesudah shalat fardhu dinamakan “Ba’diyyah”.
Ketentuan-ketetuan shalat Rawatib:
a) Niatnya menurut macam shalatnya
b) Tidak dengan adzan dan iqamah
c) Dikerjakan tidak dengan berjama’ah
d) Bacaannya tidak dinyaringkan
e) Jika lebih dari dua raka’at, tiap-tiap dua raka’at satu salam
f) Diutamakan sebaiknya tempat mengerjakan pindah bergeser sedikit dari tempat shalat fardhu yang baru dikerjakan. (Risalah Tuntunan shalat lengkap. 2011: 80-83)
0 comments:
Post a Comment